“Aku gagal SNMPTN mungkin
karena dulu aku jarang belajar :(”
“Kok dia putusin tiba-tiba? Apa karena aku terlalu posesif? :(”
Seberapa sering kamu menyalahkan diri sendiri atas kegagalan yang kamu alami? Hampir setiap malam mungkin kamu memikirkan kegagalan-kegagalan yang dialami yang berujung pada menyalahkan diri sendiri. Hal ini merupakan salah satu bentuk self-talk yang disebut pathological critic.
Pathological critic merupakan istilah yang diciptakan oleh psikolog Eugene Sagan untuk mendeskripsikan suara hati yang menyerang dan menghakimi diri. Pathological critic sendiri berkaitan erat dengan self-criticism.
Dalam Kamus Lengkap Psikologi karya J.P. Chaplin (2005), self-criticism memiliki dua definisi yaitu (1) kemampuan untuk mengenali kelemahan dan keterbatasan diri, (2) pengenalan dan pengakuan bahwa prestasi sendiri itu tidak memiliki sifat-sifat yang dikehendaki oleh standar sosial atau seperti yang diharapkan atau ditentukan oleh diri sendiri. Dengan kata lain, self-criticism mengacu pada bagaimana seseorang menilai diri sendiri secara negatif.
Kenapa Orang Menyalahkan Diri Sendiri?
Seringkali seseorang menyalahkan diri sendiri karena mereka tidak menerima sesuatu yang ada di kehidupannya. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan baik kepada orang lain. Akan tetapi jika kita melihat lebih jauh, beberapa peneliti dalam jurnalnya (Koestner, Zuroff & Power, 1991; Brewin dkk., 1992; McKay, 2000; Cheng dan Furham, 2004; Grzegorek, 2004; Engel, 2006) menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua menjadi salah satu faktor yang menyebabkan self-criticism.
Perilaku orang tua memiliki pengaruh yang mendalam pada pembentukan self-concept mengenai kepercayaan atau gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan self-esteem atau bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri secara keseluruhan. Hubungan yang baik antara orang tua dan anak berdampak pada percaya diri si anak. Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan cara memarahi, mengkritik, bahkan melakukan tindakan kekerasan setiap kali anak melakukan kesalahan, akan membuat si anak menyalahkan diri mereka sendiri atas perilaku orang tuanya.
Penyebab lain atas munculnya self-criticism adalah sifat perfeksionis dan suka membandingkan. Perfeksionis dan suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain secara tidak langsung membuat seseorang menjadi keras kepada diri sendiri. Orang yang memiliki sifat ini tanpa sadar kadang mencaci, mengkritik, hingga menyerang diri sendiri. Hal ini menyebabkan perasaan bersalah, malu, kegagalan dan merasa tidak berharga. Semakin perfeksionis seseorang, maka ia menjadi semakin self-critics.
Apa Dampaknya?
Self-criticism sangat berdampak terhadap tingkat harga diri yang rendah dan rasa tidak aman seseorang. Lebih jauh, self-criticism sering diasosiasikan dengan depresi. Seseorang yang sering melakukan self-criticism terus menerus akan berdampak pada kesehatan mental.
Mereka akan lebih sering merasa putus asa, tidak puas, bahkan cenderung menyalahkan dan merasa kritis terhadap diri sendiri karena ketidakmampuannya memenuhi harapan dan standar mereka.
Bagaimana Menanganinya?
Daripada terus-terusan menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, lebih baik menerima dan mencintai diri sendiri dengan cara:
1. Berdamai Dengan Kesalahan dan Kegagalan
Tak ada salahnya mengakui kesalahan dan menerima kegagalan. Dengan ini, kamu akan menemukan hal-hal apa saja yang perlu kamu perbaiki dan membuat kamu lebih fokus untuk memperbaikinya, bukan malah meratapinya. Hal ini akan membuat kamu menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab.
2. Terapkan Perilaku Berpikir Positif dan Apresiasi Diri Sendiri
Ada banyak hal positif yang ada dalam diri kamu yang perlu diapresiasi. Salah satu cara yang bisa kamu lakukan adalah dengan membuat daftar kelebihan dan hal positif yang ada pada diri kamu. Jika perlu, minta keluarga atau teman terdekat untuk menyebutkan apa kelebihanmu. Nah, ketika kamu sedang dilanda kegagalan dan menyalahkan diri sendiri atas kegagalan tersebut, kamu bisa menyemangati dirimu dengan membaca catatan yang sudah kamu buat tadi.
3. Mendengar Lagu, Membaca Buku dan Menonton Film Tentang Self-Love
Meski terdengar sepele, namun bagi sebagian orang aktivitas ini sangat membantu untuk lebih mencintai diri sendiri. Kamu tinggal mencari lagu, buku atau film apa yang menjadi favoritmu dan bisa membuat kamu lebih mencintai diri sendiri. Misalnya rekomendasi film untuk kamu yang masih sering insecure dari I am Okay.
Perilaku self-criticism merupakan suatu siksaan emosional yang dilakukan seseorang terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, penting untuk kamu menyadari pentingnya menghargai dan mencintai diri sendiri. Cause you are worthy than you know and you deserve all the happiness^^
Desain oleh: Tri Wulandari
Penulis: Abd. Hamid Zainal
Editor: Muthia Nida
Referensi:
- @catchmeupid. (2021). Raise Your Hand if You’ve Been Too Hard To. Yourself. Diakses pada 24 Maret 2021. https://www.instagram.com /p/CKDNi4xMmOG/
- Be, Hanna (2011). SELF-CRITICISM : PENYEBAB, DAMPAK DAN CARA MENANGANINYA. Diakses pada 24 Maret 2021. https://hanabilqisthi.blogspot.com /2011/06/self-criticism-penyebab-dampak-dan-cara.html#:~:text=Self%2Dcriticism%20memiliki%20dua%20definisi,atau%20seperti%20yang%20diharapkan%20atau
- Diakses pada 24 Maret 2021. https://text-id.123dok.com /document/wq29gkvez-konsep-self-criticism-self-criticism-1-pengertian-self-criticism.html
- Nareza, dr. Meva (2021). Alasan di Balik Sering Menyalahkan Diri Sendiri dan Cara Mengatasinya. Diakses pada 24 Maret 2021. https://www.alodokter.com /alasan-di-balik-sering-menyalahkan-diri-sendiri-dan-cara-mengatasinya
- Widjast, Evlijn Pasha. (2011). Hubungan Antara Self-Critcism Dengan Distres Pada Siswa SMAN 2 Surakarta. Diakses pada 24 Maret 2021. https://eprints.uns.ac.id /8432/1/218670811201104081.pdf