Hai Fellas, namaku Lala. Aku ingin berbagi pengalaman terkait kesehatan mental ku pada empat tahun yang lalu dan bagaimana cara ku untuk menghadapinya. Fyi, aku bukan seorang profesional dan juga tidak berusaha untuk melakukan self-diagnose. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke psikolog/psikiater karena masih bisa mengatasinya sendiri.
Di tahun 2016, aku mulai mengenal sosial media berlogo segi empat yang menyerupai kamera polaroid. Semua teman-temanku sudah sangat lihai mengoperasikannya sehingga aku juga tidak ingin ketinggalan zaman. Tanpa berpikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan nya juga. Awalnya, semua tampak menarik di mataku. Aku bisa melihat segala hal di luar keterbatasanku seperti berbagai macam prestasi yang tak pernah kuperoleh, liburan mewah di seluruh penjuru dunia, skill hebat yang dimiliki oleh teman-teman sebayaku, hingga hal-hal luar biasa lainnya yang kuperoleh melalui instastory maupun feed.
Tanpa kusadari, paparan konten-konten tersebut membuatku cenderung membandingkan diriku sendiri dengan mereka. Secara tak langsung, aku hanya menemukan kekurangan kekurangan yang kumiliki dan cenderung mengabaikan hal-hal hebat yang telah kulalui. Perasaan kurang puas dan rasa takut akan masa depan menjadi hal yang sering terpikirkan olehku saat itu. Tak hanya itu saja, aku juga sering mempertanyakan dan meragukan diri sendiri untuk menggapai mimpi. “Sepuluh tahun yang akan datang, apakah aku bisa menjadi orang hebat seperti mereka? Apa impian yang sebenarnya ingin ku perjuangkan?” Kira-kira, berbagai macam pertanyaan seperti itu yang terus menghantui sepanjang hari. Hal itu membuatku merasa insecure atau tidak aman dengan berbagai macam stressor yang kuhadapi. Berbagai macam tuntutan terus kuperoleh, terlebih lagi karena aku sudah berada di masa SMA kala itu sehingga sudah harus memikirkan masa depan (kuliah).
Seiring berjalannya waktu, aku merasa bahwa ini semua bisa mengancam kesehatan mental ku. Tanpa berlarut-larut, tekadku untuk tidak lagi bermain sosial media dan keputusan inisudah bulat. Aku memutuskan untuk berhenti menggunakannya dan melakukan self-healing sejenak. Aku berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang terus menghantui itu. Pikirku, masih ada hal positif lainnya yang bisa kulakukan dengan handphone-ku, seperti mencari berbagai macam informasi mengenai program studi kuliah. Hingga pada akhirnya, Aku mulai menyusun rencana jangka panjang, memberanikan diri untuk membangun mimpi secara bertahap.
Seiring berjalannya waktu, aku telah menemukan mimpiku dan semakin mantap untuk mewujudkannya. Perasaan takut untuk menghadapi masa depan sudah berkurang sedikit demi sedikit. Perasaan insecure mulai berubah menjadi secure melalui proses self-healing yang kulalui hampir satu tahun lamanya.
Setelah berbagai macam proses itu, akhirnya aku memberanikan diri untuk bermain sosial media lagi. Kini, aku sudah bisa menggunakan sosial media dengan sebijak mungkin. Aku hanya perlu yakin terhadap diriku sendiri agar kesehatan mentalku juga tetap terjaga dengan baik. Terima kasih sudah berkenan membaca sepenggal kisahku. Last, I just wanna say, you can do your best as long as you believe in yourself.
Penulis: Bernarda Febrita Putri Gabinsla
Editor: Muthia Nida
Desain: Zordy