Kukira Kau Obat Ternyata Kau Luka
Hi Fellas!
Perkenalkan aku Cherly. Aku akan menceritakan kisahku pada tahun 2014 dimana itu merupakan tahun terberat bagiku karena orang tuaku bertengkar hebat. Layaknya orang yang mengalami broken home pada umumnya, rasanya sakit dan tidak ada yang pernah menyangka hal ini terjadi padaku. Setelah kejadian ini aku benar-benar down, aku sering melamun, depresi berat, sulit tidur dan menjadi pendiam. Sampai suatu saat aku ingin mencoba mengakhiri hidupku. Hal ini juga yang membuatku trauma, yup trauma, setiap kali aku bertemu orang baru. Aku sangat tertutup bahkan bisa dibilang aku cukup tidak peduli dengan keberadaan orang yang baru kutemui.
Hingga pada 2015, ada seorang yang berusaha masuk dalam hidupku. Seperti cerita di atas, aku yang masih trauma dan tidak peduli dengan orang baru berusaha mengabaikan orang itu selama dua tahun. Hal ini karena aku takut hal yang tidak aku inginkan terjadi. Ya, memang masih terlalu cepat bagiku juga untuk memulai menjalin hubungan seperti pacaran, dimana saat itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 8. Suatu hari sahabatku di sekolah menasehatiku, mungkin karena melihat kelakuanku yang sangat cuek dan tidak peduli dengan orang yang mendekatiku itu. Aku jadi memikirkan apa yang sahabatku katakan dan setelah aku pikir memang benar adanya. Tidak ada yang salah dengan sahabatku saat ia mengatakan hal itu kepadaku karena memang ia tidak tahu masalahku ini karena aku memang tidak pernah sekalipun menceritakan masalah keluargaku ini ke siapapun.
Setelah kelas 9 aku mulai memberanikan diri untuk mencoba mengenal orang itu, yah walaupun aku tidak sepenuhnya peduli, setidaknya aku memberanikan diri untuk merespon dia. Hari-hari sering kali aku lewati bersama dia, hari semakin hari pun rasa traumaku semakin memudar dan sedikit hilang, entah karena aku sudah mulai nyaman dengannya atau apa. Hingga suatu saat, di tiga bulan menjelang ujian akhir, seperti orang pada umumnya yang sudah lumayan dekat, akhirnya dia memutuskan menyatakan perasaannya padaku. Walaupun aku sudah merasa nyaman dengannya, sebenarnya masih ada rasa tidak yakin dan takut akan traumaku ini, maka aku memutuskan untuk menolak dia. Keputusanku ini sepertinya menjadi hal yang sangat berat baginya tetapi aku masih belum bisa untuk menerima perasaannya itu. Setelah itu kami lost contact. Sampai hari perpisahan SMP itu, memang tidak ada komunikasi yang terjalin sama sekali di antara kami.
Sampai ketika kami duduk di bangku SMA, kami dipertemukan kembali karena aku dan dia satu sekolah lagi. Dari situ juga dia mulai menghubungiku lagi. Dengan perasaan yang masih sama kami kembali dekat hingga kelas 11 yang pada akhirnya dia menyatakan perasaanya lagi padaku. Ketika itu aku dihadapkan kembali pada perasaan bimbang,
Apakah aku akan tetap di zona nyamanku ini atau apakah aku harus percaya?
Pertanyaan penuh keraguan yang menggelitik dalam hatiku hingga aku memutuskan untuk percaya padanya karena aku pikir ini akan jadi obat bagiku. Aku sangat yakin itu. Hingga lima bulan berjalan, masa yang aku takutkan, aku khawatirkan pun akhirnya terjadi. Hubungan kami berakhir dengan meninggalkan rasa sedih dan sakit.. Ya, terjadi lagi, aku harus mengulang rasa trauma itu, sekali lagi. Padahal dia orang yang aku kira bisa menjadi obat ternyata memberi luka yang sama. Ya, sama seperti Ayahku sendiri. Hancur untuk kedua kalinya mungkin rasanya lebih sakit karena aku seperti menaruh harapan yang terlalu besar.
Aku berusaha untuk bangkit dari semua ini dengan banyak hal yang aku lakukan agar aku lupa. Aku juga belajar agar selalu syukur, berdamai dengan keadaan, dan sedikit keluar dari rasa trauma ini.