Siapa nih di antara kita yang bisa dengan mudah membantu masalah teman dengan berbagai saran, nasihat, atau dukungan. Akan tetapi, tidak bisa menjadi sama bijaknya seperti itu kepada diri sendiri ketika sedang ada masalah? Ternyata fenomena seperti ini dalam psikologi ada penjelasannya lho, Fellas. Fenomena ini dinamakan dengan Solomon Paradox. Yuk, kita kepoin lebih lanjut!
Gambaran Solomon Paradox
Pernahkah kamu merasa kalau kamu bisa menjadi orang yang sangat bijak ketika memberi saran atas masalah yang sedang dihadapi temanmu? Akan tetapi di sisi lain, saat kamu memiliki masalah kamu justru bingung dan tidak tahu cara mengatasinya. Fenomena merasa lebih bijak terhadap masalah orang lain daripada masalah sendiri ternyata ada penjelasannya dalam psikologi. Misalnya, ketika kalian memberikan nasihat dalam hal percintaan kepada teman kalian, padahal kalian sendiri belum tentu bisa menyelesaikan masalah percintaan kalian sendiri. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Solomon Paradox” yang pertama kali diperkenalkan oleh Igor Grossman.
Mengapa disebut Solomon Paradox?
Igor Grossman, seorang Ilmuwan Psikologi dari University of Waterloo, menggunakan istilah Solomon Paradox untuk membedah alasan dibalik seseorang bisa lebih bijak kepada orang lain dibanding diri sendiri. Istilah Solomon Paradox digunakan karena fenomena tersebut mirip seperti kisah Raja Solomon, pemimpin ketiga dari bangsa Israel yang dianggap sebagai raja paling bijak pada masanya.
Raja Solomon dikenal bijak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain, bahkan banyak orang dari berbagai penjuru dunia rela menghampiri Raja Solomon untuk mendapatkan solusi atas permasalahannya. Akan tetapi, di sisi lain sang Raja justru kurang bijak dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dan tak jarang mengambil keputusan yang salah dalam berbagai masalahnya. Dari sifat Raja Solomon inilah asal mula terciptanya istilah Solomon Paradox.
Apa penyebab terjadinya Solomon Paradox?
Fenomena ini disebabkan oleh adanya perbedaan perspektif dalam memandang sebuah masalah. Ketika kita melihat masalah yang sedang dialami oleh orang lain, kita cenderung memberi jarak atau memisahkan diri dari masalah tersebut yang disebut sebagai self-distancing. Dengan melakukan self-distancing, kita bisa berpikir secara rasional dan realistis karena kita mengadopsi perspektif orang ketiga ketika memahami masalah orang lain. Hal inilah yang kemudian membuat kita bisa menemukan dan memberikan solusi dari masalah tersebut dengan bijak.
Lain halnya dengan perspektif ketika kita melihat masalah yang sedang kita alami sendiri. Kita cenderung fokus dan terlarut dalam masalah tersebut yang disebut sebagai self-immersed. Biasanya, ketika terlalu larut dalam masalah diri sendiri, kita tidak sempat untuk memberi jarak antara diri kita dengan masalah yang dihadapi. Sehingga, kita cenderung tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif dan sulit untuk berpikir jernih. Perspektif inilah yang membuat kita sulit menjadi bijak dalam menemukan solusi dari masalah yang dialami.
Perbedaan dalam pemrosesan kognitif di bawah perspektif yang berbeda menyebabkan bias dalam kinerja penalaran yang bijaksana tentang masalah hidup sendiri dan orang lain, terutama dalam dilema konflik interpersonal yang melibatkan situasi yang mengancam diri sendiri. Oleh karena itu, kita sering merasa lebih bijaksana ketika menanggapi permasalahan yang dialami oleh orang lain.
Cara mengatasi Solomon Paradox
Kita tentu tidak bisa sepenuhnya menghindari atau melawan paradoks ini. Cukup menyadari keberadaan paradoks tersebut dapat membantu kita. Untuk bisa menjadi bijak tidak hanya pada orang lain tetapi juga pada diri sendiri, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan self-distancing. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Igor Grossman, seseorang bisa menjadi lebih bijak terhadap masalah sendiri ketika mampu memposisikan dirinya sebagai orang lain dan memahami masalahnya dari sudut pandang yang berbeda.
Ketika mendapat masalah, coba lihat dari sudut pandang orang ketiga. Kira-kira nasihat seperti apa yang akan kalian berikan kepada seseorang di posisi kalian saat ini? Alih-alih bertanya pada diri sendiri, “Haruskah saya membuat keputusan ini?” tanyakan dari sudut pandang orang ketiga, “Haruskah dia membuat keputusan itu?” Dengan merubah kata ganti dari ‘saya’ menjadi ‘dia’ akan membantu kita memahami apa yang terbaik, seperti apa yang selalu kita lakukan dalam memahami masalah orang lain.
Maka dari itu, ada baiknya untuk bisa menemukan solusi yang objektif terhadap masalah yang dihadapi oleh diri sendiri, kita harus membangun jarak antara diri kita dengan masalah itu sendiri. Hal ini akan membuat pikiran kita jauh lebih jernih dan positif ketika hendak memutuskan sesuatu sebagai jalan keluar terbaik.
Penulis: Shellta Mallarangi
Editor: Hera
Desain: Mega, Mita
Referensi:
- Association for Psychological Science. (2015, March 14). The (Paradoxical) Wisdom of Solomon. Psychologicalscience.org. Retrieved from https://www.psychologicalscience.org/news/were-only-human/the-paradoxical-wisdom-of-solomon.html
- Hemanth. (2022, July 24). Solomon’s paradox: Do you really take your own advice? Medium.com. Retrieved from https://medium.com/street-science/solomons-paradox-do-you-really-take-your-own-advice-f3f454aaa1ca
- Xu, W., Zhang, K., & Wang, F. (2022). The psychological mechanisms underlying Solomon’s paradox: Impact of mood and self-transcendence. Frontiers in Psychology, 13(901012), 1-8. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.901012