Hai! Namaku Bintang, seorang manusia yang hampir 19 tahun hidup di dunia. Pada kesempatan ini, aku ingin berbagi tentang pengalaman berperasaan yang aku alami. Aku berharap, kalian yang membaca kisah ini selalu dalam keadaan baik dan terjaga.
Selama hidup, aku bersyukur telah bertemu dengan banyak raga dan rupa. Aku bersyukur untuk dapat hidup berdampingan dan saling tolong menolong dengan mereka serta menjalin hubungan sesama manusia. Aku merasakan bahwa diriku yang sekarang adalah manifestasi dari pembelajaran yang aku dapatkan selama menjalin rasa dengan orang-orang yang aku anggap berjasa. Sepenggal kisahku ini terdengar sempurna dan baik-baik saja, bukan? Akan tetapi, kegundahan muncul ketika aku menyadari bahwa rasa yang aku punya akan selalu ada, yakni rasa untuk tidak merasakan arti “Dicinta”.
Selama perjalanan dan pertemuan dengan orang-orang yang berjasa dalam hidup, seringkali aku hendak memberikan afeksi yang lebih istimewa kepada mereka dengan setulusnya. Mudahnya, aku menganggap ini sebagai balas rasa. Aku melakukan semua dengan rasa dan sepenuh cinta. Bagiku, mereka adalah wujud istimewa yang Tuhan berikan ke dalam hidup yang tak sempurna.
Kembali pada frasa antarkalimat “akan tetapi”, seringnya aku merasa bahwa aku menjalani ini dengan tutup mata. Iya, seringnya aku tak merasa bahwa cinta yang kuberikan terbalas dengan frekuensi yang sama. Tak jarang, aku merasa bahwa aku bertaruh dengan rasa. Segala gejolak tersebut membuatku merasa bahwa diri ini hampa dan berjalan dengan sendirinya.
Perasaan ini semakin berat karena aku bukanlah orang yang mudah untuk memperlihatkan rasa amarah atau gundah. Aku cenderung menahan dan memikirkan segala sesuatu yang akan aku lakukan.
Kembali pada kata “seringnya”, seringnya ku pendam perasaan emosional tersebut sampai pada saatnya ia kembali di saat yang tidak tepat.
Ketika perasaan itu melunjak, pikiran ku seakan dilumuri prasangka negatif sehingga tak ada ketenangan yang menyelimuti hati. Seketika, aku resah dengan semuanya. Aku berpikir bahwa tidak ada satu pun orang yang benar-benar mempedulikanku seutuhnya. Bahkan, terkadang aku berpikir bahwa orang-orang hanya memanfaatkan kebaikanku dan aku yang terlalu bodoh untuk bertindak seikhlasnya.
Di saat pemikiran negatif tersebut berputar dalam benakku, ada satu sisi lain dari diriku yang terus memaksa untuk berpikir secara rasional. Hal tersebut menyebabkan pikiranku seakan bertengkar dengan egonya. Diriku seakan -akan ingin mengekspresikan emosi yang sejujur-jujurnya, tetapi terhalang oleh benteng rasional yang membatasi kejujuran perasaan itu. Sampai saat ini, aku masih kesulitan untuk mengatasinya. Aku hanya menjaga keresahan ini agar tidak mempengaruhi hal -hal lain di hidupku atau berpengaruh buruk kepada sekitarku.
Pada akhir hari, aku hanya sadar bahwa mau tidak mau aku harus berdamai dengan ini semua. Ya, perdamaian semu, tetapi setidaknya mencoba lebih baik. Mungkin, aku juga harus lebih banyak mensyukuri bahwa banyak hal-hal yang tidak kuketahui ternyata membawa baik pada kehidupanku. Mungkin, mereka yang kuanggap tidak mencintaiku kembali, ternyata mencintaiku dengan cara lain yang lebih indah.
Aku percaya bahwa kedewasaan dan kesempatan akan membawaku pada sebuah kepastian.
Penulis:
Desain: Dono
Editor: Nurul Malahayati