Halo, namaku Syifa. Aku akan menceritakan sepenggal kisahku, terkait permasalahan kesehatan mental yang ku idap. Sebelum aku bercerita, aku ingin sedikit mengingatkan bahwa jika kalian memiliki ciri yang serupa dengan apa yang aku alami, aku mohon jangan mendiagnosis diri sendiri, ya.
Semua manusia pasti memiliki masalah dan harus mencari solusi atas permasalahan tersebut bukan? Namun, apa jadinya jika kita merasa tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dan berujung lari dari permasalahan yang seharusnya dihadapi? Sangat melelahkan dan akan terus membayangi hari-harimu bukan?
Lalu jika itu terjadi, maka hal yang dilakukan untuk lari dari masalah tersebut adalah dengan mencari wadah yang dapat dijadikan sebagai pelarian. Apabila wadah tersebut membawa pengaruh positif dan digunakan hanya untuk sekadar menenangkan diri, sepertinya tidak akan menjadi masalah.
Namun, jika wadah tersebut membawa pengaruh sebaliknya dan digunakan sebagai tempat untuk berlindung dari masalah yang menghantui, maka justru ini menciptakan masalah baru yang tidak disadari.
Ini lah yang aku alami, lari dari masalah-masalahku sendiri sejak tahun 2019 dan berujung didiagnosa mengidap Adjusment Disorder atau yang memiliki nama lain Situational Depression atau Gangguan Penyesuaian oleh Psikolog di kampusku.
Berdasarkan APA (2013) Adjustment disorder merupakan sebuah gangguan yang ditandai dengan adanya gejala emosional atau perilaku sebagai respons terhadap stresor yang dapat diidentifikasi, yang terjadi dalam waktu tiga bulan sejak awal stresor tersebut.
Saat aku menjalankan kehidupan sehari-hari dan sedang dihadapi dengan masalah, aku akan menunjukkan gejala layaknya penderita depresi dan kecemasan berlebih (anxiety). Dampak dari permasalahan kesehatan mentalku ini, mengakibatkan aku menjadi pribadi yang impulsif, overthinking, dan menjadi avoidant atau tipe yang suka menghindar.
Kejadian yang membuatku akhirnya mengidap Adjusment Disorder adalah traumaku terhadap lingkungan sosial, terutama saat aku masih remaja, dimana aku merupakan korban perundungan, tidak mendapatkan validasi emosi dari lingkungan sekitar, pertengkaran orang tuaku saat aku kecil, dan saat aku SMA aku tinggal di lingkungan yang abai dengan diri sendiri dan sering perang dingin dengan kakak sepupu.
Aku ingat, pernah dirumorkan bahwa orientasi seksualku menyimpang hanya karena teman dekatku -dia perempuan dan tomboy- memberikanku cokelat, itupun karena aku yang memintanya, bukan inisiatif dia. Namun, mereka tidak mengetahui cerita sebenarnya sehingga rumor tersebut menduduki peringkat nomor 1 selama kurang lebih satu bulan, yang membuatku akhirnya terpaksa menjauhi teman dekatku ini.
Aku sudah pernah mencoba untuk menyatakan ketidaksukaanku atas rumor tersebut, namun respon yang ku dapatkan malah, “Ya ilah Syif, baperan banget jadi orang, itu kan cuma candaan.” Semenjak saat itu, aku menjadi pribadi yang memendam perasaan dan menganggap bahwa perasaan negatif yang ku rasakan adalah hal yang lemah dan tidak seharusnya aku rasakan.
Namun, setelah memberanikan diri untuk mendapatkan bantuan profesional, maka cara-cara yang biasa aku lakukan untuk mengontrol permasalahan kesehatan mentalku adalah dengan memvalidasi semua emosi yang aku rasakan, menjadikan hobi menulisku yang sudah lama aku kubur sebagai media terapi, meditasi, belajar mengontrol pernafasan, dan lebih terbuka dengan orang-orang terdekatku.
Sampai sekarangpun aku masih berjuang untuk keluar dari permasalahan kesehatan mental ini, namun dari sini aku belajar untuk lebih memperhatikan diri sendiri, keluar dari zona nyaman, berdamai dengan keadaan, mengikuti arus kehidupan, dan membentuk diriku menjadi pribadi yang lebih banyak bersyukur.
Akhir kata, aku hanya ingin menyampaikan bahwa you are not your mental health issue, you are more than what people labelled you.
Desain oleh: Tri Wulandari
Penulis: Syifa Wulan Widianti
Editor: Muthia Nida