Halo, namaku Pani. Aku akan menceritakan pengalamanku di SMK yang pernah terjebak dalam toxic friends dan ini menjadi traumaku dalam berteman. Sebelumnya aku ingin menjelaskan bahwa toxic friends ini bisa menimpa pada siapa saja. Karena itu, dalam berteman kita harus berhati-hati Jangan takut dianggap tidak gaul, sehingga Kamu tidak memilih pertemanan yang cocok dengan diri kamu sendiri. Dan pada akhirnya banyak yang salah dan terjebak dalam pertemanan toxic.
Jadi disini aku ingin berbagi pengalamanku dan berharap bisa menjadi pelajaran bagi kalian yang membaca.
Bermula pada awal aku menduduki bangku SMK tepatnya di kelas 10, aku memiliki teman sebangku yang selalu duduk bersamaku, dia perempuan. Selain itu, aku juga memiliki tiga teman lainnya, sejak bertemu mereka aku merasa kehidupanku berubah.
.
Pada suatu hari, kami mengobrol di kelas pada saat istirahat dan jam kosong, walaupun kegiatan ini sering kami lakukan, namun ada satu hal yang membuatku tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini datang dari topik pembicaraan mereka yang fokusnya hanya berputar tentang “laki-laki” atau “pacar” mereka. Aku paham ini merupakan masa-masa mereka untuk merasakan ketertarikan pada seseorang, namun sejujurnya aku kurang nyaman.
Ketidaknyamanan-ku bertambah akibat mereka yang kurang bisa diajak bekerjasama dalam kegiatan akademis, tugas kelompok salah satunya. Pada saat kami mendapat tugas yang perlu dikerjakan secara berkelompok, mereka sama sekali tidak berkontribusi apapun, mereka memiliki kegiatan lain di luar tugas yang harus dijalankan. Aku merasa sendirian.. hanya aku yang bekerja, hanya aku yang berpikir dan aku yang berusaha.
Aku marah dan kesal, semakin tidak nyaman dengan pertemanan ini. Aku memutuskan untuk menjaga jarak, tapi apa respon yang ku dapat? Mereka menjauhi dan menyudutkanku.
Di tengah kesedihan ini, aku berpikir untuk mencari bantuan pada seseorang yang lebih “paham” dan menurutku lebih bijaksana, aku memutuskan menemui guru BK di sekolahku. Pada saat sesi konseling dengan beliau, lagi-lagi aku mendapat respon yang membuatku merasa sakit dan terpojok, aku disudutkan dengan kalimat-kalimat “Mungkin kamu kali yang tertutup” “Mungkin kamu belum move on sama sahabat kamu di SMP”. Kalimat-kalimat yang memiliki arti bahwa segala macam masalah yang terjadi sebab utamanya adalah aku.
Dan beruntungnya pada tahun 2020 Tuhan menjawab segala doa-doaku, tuhan mempertemukan aku dengan seseorang yang bisa menjadi sahabat, menjadi tempat belajar untuk menerima dan memaafkan diriku sendiri. Aku dan dia memiliki satu kesamaan besar, yaitu pengalaman menghadapi toxic friendship pada pertemanan sebelumnya.
Seiring berjalannya waktu, aku telah lulus sekolah pada tahun ini. Pada saat ini aku banyak mencari tahu, belajar lebih dalam tentang apa itu toxic friendship. Tak kalah penting aku belajar memaafkan diriku dan berusaha menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. untuk kawan-kawan disana yang juga pernah mengalami terjebak dalam toxic friends kamu kuat dan kamu tidak sendiri di dunia ini. Kita semua pernah ada di posisi itu. Banyak-banyak belajar dan mencari tahu isu-isu yang berkaitan dengan self love dan toxic friend karena dari itu dapat berdampak baik untuk kehidupan kalian selanjutnya.
Sekian dari pengalaman dan ceritaku ini semoga bisa menjadi pelajaran, maaf apabila ada salah kata maupun tulisan. Sampai jumpa.
Penulis: Stephanie Dwi Lestari
Editor:
Desain: Dono