“Kamu makan banyak banget sih! Gak malu sama badan?”
“Muka kamu kenapa jerawatan gitu?”
“Kulit kamu kok gak putih sih? Gak kayak saudara-saudara kamu”
Sering denger kalimat-kalimat itu? Kalo sering, berarti kamu punya teman.
Body shaming, ketika orang lain mengkritik penampilan kita, dan membandingkan kita, secara tidak tepat. Tergolong dalam kategori bullying dan sangat erat kaitannya dengan standar kecantikan di masyarakat. Harus langsing, harus putih, harus mulus, harus cantik, dan keharusan-keharusan lainnya yang kayaknya selalu jadi hal yang mengikuti kita sepanjang hidup, dan gak pernah bisa berhenti. Hal-hal itu aku juga aku alami, sampai saat ini.
Awalnya, semua terasa biasa-biasa saja. Namun tahun ini terasa berbeda. Semakin lama mendengar setiap kritikan dan komentar mengenai penampilanku, aku semakin meragukan diriku. Aku sedikit demi sedikit kehilangan kepercayaan diriku. Aku bahkan takut untuk mengutarakan pendapatku. Aku merasa orang lain tak akan mau mendengarkan “orang jelek” seperti aku. Aku takut mengambil kesempatan-kesempatan yang datang, sesederhana karena aku takut tak cukup cantik dan kurus untuk berhak ikut ambil bagian dalam kesempatan itu. Aku merasa tak lagi berharga.
Ironisnya, komentar, kritikan, dan semua ucapan menyakitkan mengenai penampilanku, sebagian besar datang dari keluargaku. Orang-orang yang setiap hari kutemui. Ucapan yang mereka lontarkan melalui candaan, untuk konsumsi hiburan, dan kesenangan. Mereka tak pernah tau, bahwa itu menyakitiku. Mereka tak pernah tau berapa kali aku menangis setiap makan. Mereka tak pernah tau seberapa aku benci bercermin. Mereka tak pernah tahu seberapa takutnya aku. Tak pernah mereka tanyakan, aku bahkan ragu mereka peduli.
Hingga akhirnya, berbulan-bulan dengan rasa takut, aku coba berbincang dengan diriku. Bertanya, bagaimana perasaanku, apa yang membuatku merasakan perasaan-perasaan itu, bagaimana aku harus bertahan kedepannya. Perbincangan itu tak lama, tapi dalam waktu yang singkat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Semakin dalam aku mencari tahu, semakin sakit rasanya, dan semakin aku tak dapat berhenti.
Setelah hari itu, aku putuskan untuk belajar berdamai dengan diriku. Aku belajar menghargai diriku, meraih kembali kepercayaan dan keberhargaan diriku, dan untuk bahagia lagi. Aku coba untuk menata kembali diriku, yang sampai saat ini tidak pernah mudah.
Hal yang aku lakukan untuk meningkatkan kepercayaan dan keberhargaan diriku adalah, dengan menerima apa yang terjadi. Aku mencoba menerima kenyataan bahwa memang aku tidak sempurna, dan begitupun setiap orang. Aku mencoba menerima, ada bagian-bagian tubuhku yang aku tidak suka, tapi ada juga yang aku suka.
Sedikit demi sedikit, aku berusaha mengevaluasi dan memperbaiki. Setiap perilaku dan pemikiran menyimpang yang tidak sesuai. Aku coba tinjau kembali gaya hidup yang membuatku tidak sehat, aku coba lihat lagi kebiasaan-kebiasaan yang membuatku tidak menghargai diriku. Salah satunya adalah kembali membiasakan diri untuk bercermin. Aku rasa, melawan ketakutan adalah hal yang harus dicoba.
Terakhir, ku usahakan untuk bersyukur atas hal-hal sederhana dalam diriku. Fokus pada hal-hal baik dan positif, memupuknya, dan terus mengembangkannya.
Aku masih dalam perjalanan menuju baik-baik saja. Tidak selalu mulus, aku sering gagal, terhenti, kembali menangis dan meragukan diri. Tapi, aku sadar, aku harus mulai lagi, aku harus coba lagi. Hingga aku berhasil mencintai diri lagi. Semoga kamu juga mencintai dirimu, hidupmu, dan semua proses yang mengikutimu
Penulis: Cristabella Shania
Editor: Hamid
Desain: